Salah satu penyakit yang diderita bangsa ini adalah tidak adanya
keluwesan untuk sama-sama menerima perbaikan atas negara secara utuh.
Kasus gedung KPK merupakan kasus yang bisa dikategorisasikan dalam
masalah ini. Tidak adanya ruang kesadaran secara penuh terhadap
cita-cita pemberantasan korupsi, sebenarnya merupakan bagian dari modus
pengkultusan terhadap negara yang terus mengakar. Kini, di tengah
sempitnya ruang gedung KPK dan di tengah besarnya apresiasi publik
terhadap KPK, justru Komisi III DPR RI memberikan tanda bintang, yang
pesan verbalnya dapat diterjemahkan sebagai simbol tidak sepakat
terhadap pembangunan gedung senilai 65 miliar tersebut.
Fenomena ini cukup jelas dipahami sebagai sebagai paradoks birokrasi.
Pertanyaan dasar yang bisa diajukan adalah, benarkah Komisi III yang
membidangi politik dan hukum benar-benar total mewujudkan hukum dan
politik yang bermartabat? Entitas politik dan hukum di negeri ini sudah
memasuki titik nadir. Suhu korupsi di semua jajaran birokrasi telah
menjadi ”gaya hidup” yang sulit ditepis. Ia hadir, berkembang, dan
kemudian bertahan dalam spektrum yang kuat. Artinya ikhtiar publik untuk
bisa lepas dari kungkungan korupsi menjadi mimpi yang sukar diwujudkan.
Dalam pola praksisnya, jika bukan KPK yang memberangus penyakit
tersebut, siapa lagi lembaga yang dinilai kuat melakukan penuntasan?
Pada titik ini cara pandang DPR yang melakukan justifikasi KPK sebagai
lembaga ad hoc dan tidak layak memiliki gedung sendiri
merupakan logika penafsiran yang instrumental. Penafsiran parsial yang
memiliki proyeksi politik daripada perbaikan berkelanjutan. Logika
pragmatis adalah salah satu frame yang kini terus bergemuruh dalam
memori anggota dewan. Mentalitas ini melambangkan satu tradisi elite
yang masih kentara dengan kepentingan-kepentingan di luar logika umum.
Kepentingan ini antara lain, pertama, fenomena penilaian itu ibarat
politik balas pantun. Selama ini KPK gencar melakukan terobosan
pemberantasan korupsi di lingkungan DPR. Ini menjadi salah satu arus
buruk bagi DPR yang sering kali melakukan tindak pidana korupsi.
Sehingga kesuksesan KPK dalam proses pemberantasan korupsi, merupakan
malapetaka bagi DPR yang dinilai kurang memiliki integritas dan nurani
kejujuran. Atau dengan bahasa sederhana, nyaman bagi KPK sulit bagi DPR.
Kedua, pengingkaran terhadap politik balas budi. Jamak diketahui semua komisioner di KPK dipilih berdasarakan fit and proper test
di DPR. Sehingga DPR memiliki proyeksi dan ”kebanggaan” tersendiri
karena dirinya yang telah memilih semua komisioner di KPK. Sehingga
ketika KPK getol melakukan pemberantasan korupsi tanpa melihat politik
balas budi, niscaya ekspresi geram dan sejenisnya akan tumbuh subur di
batang tubuh DPR khususnya Komisi III. Artinya kekecewaan atas dasar
politik akan berimplikasi pada satu keputusan yang memiliki naluri
politik juga.
Ketiga, adanya indikasi pelemahan terhadap proses kinerja KPK ke
depan. Sebagai sebuah lembaga negara independen fasilitas kerja menjadi
keniscayaan yang tidak bisa dielakkan. Gedung adalah sarana paling absah
untuk menopang kinerja KPK secara komprehensif. Kuantitas pegawai yang
kini mulai sesak sejatinya harus dipahami dengan logika yang wajar. Itu
artinya tidak ada alasan signifikan bagi DPR untuk menolak gedung baru
tersebut selama memang DPR memiliki misi menghapus korupsi di republik
ini. Logika paradigmatik seperti yang dicetuskan DPR karena terikat oleh
lembaga ad hoc sesungguhnya tidak bisa dipertemukan dengan
logika praksis seperti pembuatan sarana gedung dan sejenisnya. Sebab
keduanya memiliki satu narasi yang sama-sama luas. Antara bahasa yuridis
dan kebutuhan. Sehingga pada titik tertentu jika DPR tetap ngotot
memberikan tanda bintang, indikasi adanya proses pelemahan akan semakin
tampak.
SUMBER : http://www.solopos.com/2012/kolom/kpk-dan-demokrasi-koin-198646
Tidak ada komentar:
Posting Komentar