API dan Basel II pada umumnya diakui sebagai suatu konsep
yang baik oleh banyak pihak, termasuk kalangan perbankan. Mereka
bisa menerima tujuan konsep agar terwujud bangunan yang kuat,
serta mekanisme perbankan yang menjamin stabilitas keuangan
namun tetap memberi peluang tumbuh bagi setiap bank. Yang kemudian
dipermasalahkan dari kedua konsep itu adalah detil aturan,
tahap-tahap serta waktu pelaksanaannya.
Sebagai contoh, struktur perbankan yang diinginkan API masih
kerap diperdebatkan secara teknis. Mengenai empat tingkatan bank
dalam struktur API (internasional, nasional, dengan fokus, dan
dengan kegiatan terbatas) cenderung bisa diterima luas. Namun,
masih terus dipertanyakan konsep API berkenaan dengan berapa
jumlah bank yang ideal pada setiap levelnya. Salah satu pihak yang
menjadi sumber ketidaksetujuan adalah bank-bank persero, yang
n Basel II adalah suatu panduan atau best practices, yang berisi
pengaturan permodalan bagi suatu Bank. Wacana Basel II
dipromosikan oleh Komite Basel dari BIS
n Ada tiga aktivitas utama penerapan Basel II yaitu: pelaksanaan
pengawasan yang efektif, disiplin pasar yang konsisten serta
operasional bank berdasarkan prinsip kehati-hatian. Hal ini tercermin
oleh ketiga pilarnya, yaitu: Minimum Capital Requirements,
Supervisory Review Process dan Market Discipline.
182 BANK BERSUBSIDI BEBANI RAKYAT
kepemilikan saham mayoritasnya saat ini adalah pemerintah. Konsep
API memang langsung berdampak teknis bagi mereka, dimana harus
ada merger atau sedikitnya ada keputusan mengenai level bank yang
akan diposisikan pada masing-masing bank. Masalahnya bahkan
menjadi lebih rumit bagi pemerintah karena adanya aturan BI
mengenai kepemilikan tunggal. Meskipun belakangan ada upaya
mengecualikan aturan itu bagi bank milik pemerintah.
Persyaratan jumlah modal minimum untuk setiap tingkatan bank
menurut API, yang semula dimaksudkan untuk menurunkan jumlah
bank secara nasional, tampaknya kurang memiliki arti praktis
sebagai ”kekuatan pemaksa”. Batas 80 miliar rupiah untuk akhir
tahun 2007 ternyata bukan sesuatu yang “sulit” dipenuhi, dan
kelihatannya akan begitu pula dengan angka 100 miliar rupiah untuk
beberapa tahun lagi. Jika konsep API mengenai jumlah bank ingin
segera terwujud, maka diperlukan perubahan yang lebih dramatis
untuk batas modal minimal bagi bank, serta mulai diterapkan untuk
klasifikasi yang lebih tegas untuk masing-masing level. Selain itu, BI
harus mengoptimalkan kiat-kiat lain (selain syarat modal minimum)
untuk “menekan” jumlah bank, khususnya untuk bank di atas
klasifikasi bank dengan kegiatan khusus.
Sedangkan dalam hal rencana penerapan Basel II, yang paling
banyak dipermasalahkan adalah tahap dan waktu pelaksanaannya.
Basel II diyakini banyak pihak, terutama oleh kalangan perbankan,
akan memiliki pengaruh yang amat besar dan bersifat seketika
terhadap operasional bank. Diantaranya yang langsung terlihat
adalah: soal kecukupan modal, kesiapan teknologi informasi, serta
ketersediaan SDM yang memadai. Praktis dalam jangka pendek, bank
akan menghadapi peningkatan biaya operasional serta kebutuhan
akan modal yang lebih besar. Sementara itu, manfaatnya mungkin
baru akan dirasakan untuk jangka waktu yang jauh lebih lama.
Arsitektur Perbankan Indonesia dan Implementasi Bassel II 183
1. Beberapa Pandangan Kritis atas API
Ada pihak yang memandang API bisa melawan keinginan pasar,
sehingga mungkin bermasalah di kemudian hari. Menurut pandangan
ini, bank seharusnya tidak didesain dengan perhitunganperhitungan
teori di atas kertas, tetapi lebih didasarkan pada
mekanisme alami yang berkembang yakni ditentukan oleh pasar.
Dikatakan bahwa apa pun yang didesain sebaiknya tidak terlampau
kaku berdasar teori, melainkan lebih didasari oleh proses yang alami.
Kemungkinan besar akan ada merger, konsolidasi atau akuisisi di
kemudian hari. Akan tetapi, hal itu mustinya berlangsung sebagai
proses alami, bukan dengan direkayasa.
Ada pula pengamat yang melihat BI tidak konsisten terhadap
konsep hirarkis bank menurut API. Dalam pelaksanaannya, BI
cenderung memaksa bank untuk setidaknya menjadi bank dengan
fokus, dan tidak menginginkannya menjadi bank dengan kegiatan
terbatas. Padahal, ada beberapa bank yang yang tidak mampu (dan
tidak mau) menambah modalnya, namun sehat, karena bisnisnya
bergerak di segmen kredit mikro. Bisnis mereka memang sudah
tersegmentasi dalam komunitas tertentu, artinya sudah terbatas.
Terlepas dari konsep API, kegiatan operasionalnya memang
demikian. Menjadi tidak berguna jika BI memaksa bank-bank
semacam itu, seandainya mereka memilih tidak menambah modal,
untuk merger dengan bank lain atau menawarkan ke bank-bank
asing untuk di akuisisi.
Sementara itu, dari kacamata persaingan usaha, implementasi
API nampak identik dengan mendorong bank untuk melakukan
merjer atau akuisisi. Di satu sisi, hal itu memang berpotensi dapat
meningkatkan efisiensi sekaligus penguatan konsolidasi perbankan.
Namun di sisi lain, dapat mengakibatkan terjadinya pemusatan
184 BANK BERSUBSIDI BEBANI RAKYAT
konsentrasi pangsa pasar pada sekelompok bank tertentu. Padahal,
dalam perspektif teoritis dan juga secara yuridis persaingan usaha
(UU No 5/1999), setiap pemusatan konsentrasi berpotensi
menimbulkan berbagai pelanggaran. Diantaranya adalah penyalahgunaan
posisi dominan.
Memang diakui secara luas bahwa industri perbankan memiliki
karakteristik yang berbeda dibanding industri lainnya. Salah satu
perbedaannya, persaingan yang terlalu ketat (overcompetition)
dalam industri perbankan akan memaksa bank untuk mengambil
excessive risk (terutama dalam persaingan untuk pasar kredit dan
deposito). Hal tersebut sering mengarah kepada ketidakstabilan
sistem keuangan. Dengan kata lain, ada kesan bahwa terdapat
trade off antara kestabilan dan persaingan dalam industri perbankan.
Namun tidak semua akademisi membenarkan kesan yang demikian,
setidaknya meragukan validitas berlakunya trade off itu. Mereka
justeru menyimpulkan bahwa persaingan antar bank akan menekan
tingkat suku bunga kredit, sehingga mengurangi probability risk of
default debitur yang pada akhirnya akan menjamin kestabilan sistem
perbankan. Dari sudut pandang lain, sebagian akademisi berpendapat
pula bahwa pengaturan mengenai pembatasan modal (capital
requirement) akan mendorong bank untuk mengurangi diffrensiasi
produknya, sehingga justru akan menimbulkan persaingan yang
lebih ketat.
Perdebatan itu tercermin pula dalam implementasi untuk
industri perbankan, ada kebijakan yang dianggap pro stabilitas dan
ada yang pro persaingan. Pihak yang mendukung kebijakan pro stabilitas
cenderung meinginkan adanya pengaturan yang ketat, kebijakan
yang mendorong merjer atau akuisisi, serta terbentuknya bank
yang amat besar (too big to fail). Mereka menginkan pengecualian
Arsitektur Perbankan Indonesia dan Implementasi Bassel II 185
bagi industri perbankan agar memperoleh pelakuan khusus dari
hukum persaingan usaha. Sementara pihak lainnya justeru
menginginkan agar terdapat minimum entry barrier serta perlunya
pengaturan persaingan yang dapat mengurangi kemungkinan
timbulnya posisi dominan oleh satu atau sekelompok bank tertentu.
Artinya, tidak perlu perlakukan khusus bagi industri perbankan.
Dalam industri secara umum, diakui bahwa struktur pasar yang
terkonsentrasi cenderung berpotensi untuk menimbulkan berbagai
perilaku persiangan usaha yang tidak sehat dengan tujuan untuk
memaksimalkan profit. Perusahaan bisa memperoleh laba tidak
normal karena adanya market power, sesuatu yang lazim terjadi
untuk perusahaan dengan pangsa pasar yang sangat dominan.
Namun pandangan lain melihatnya sebagai peluang untuk
meningkatkan efisiensi perusahan, dan industri secara keseluruhan.
Pengaturan yang terlalu ketat terhadap struktur pasar justru akan
mengurangi insentif perusahaan untuk meningkatkan efisiensinya.
Kebijakan API yang mendorong proses konsolidasi perbankan
melalui merjer atau akuisisi diharapkan mengurangi jumlah bank.
Keinginan BI ini berarti pula sebagai peningkatkan konsentrasi
pangsa pasar perbankan. Masalahnya, dalam kondisi yang demikian,
bank sangat berpeluang mengambil keuntungan yang tidak sehat
dari posisinya yang dominan tersebut. Diantaranya adalah melalui:
kebijakan penetapan harga, barrier to entry, serta berbagai praktek
diskriminasi lain yang bisa dikateorikan sebagai praktek persaingan
usaha tidak sehat (berdasarkan UU No 5/1999). Akibatnya adalah
alokasi sumber daya yang tidak efisien dilihat secara makroekonomi.
Konsumen atau sektor riil juga harus membayar suku bunga
atau biaya lainnya yang lebih tinggi dari yang seharusnya bila
kompetitif.
186 BANK BERSUBSIDI BEBANI RAKYAT
2. Beberapa Pandangan Kritis atas Penerapan Basel II
Sebagaimana telah kita bahas, salah satu penekanan Basel II
adalah pada kecukupan modal perbankan, yang dalam arti praktis
adalah bank-bank harus mampu mengelola risiko dari kekurangan
modal minimum. Oleh karena perhitungan yang memperluas cakupan
risiko, sehingga mempengaruhi nilai aktiva tertimbang menurut
risiko, maka kemungkinan rasio kecukupan modal (CAR) bank-bank
akan turun. Terutama sekali untuk jangka pendek. Berdasar pengalaman,
penurunan CAR telah terjadi pada negara-negara lain yang
baru pertama kali menerapkan Basel II. Namun ada pula peluang
bagi bank-bank yang kreditnya banyak di retail dan untuk kredit
kepemilikan rumah, CAR-nya akan terdongkrak.
Meskipun kebanyakan bank disinyalir akan mengalami penurunan
CAR, menurut pihak BI, penurunan itu tidak akan terlalu
siginifikan dan tidak sampai menyebabkan bank-bank tersebut
kolaps. Alasannya, dalam ketentuan Basel II juga terdapat insentif
untuk melakukan remitigasi kredit, yang dilakukan dengan meminta
jaminan terhadap debitur saat bank membeli proteksi kredit atau
dengan melakukan sindikasi. Lebih lanjut dikatakan bahwa penerapan
Basel II ke depan akan menguntungkan semua pihak, baik
perbankan, pengawas, maupun publik. Dengan adanya penghitungan
risiko operasional yang diterapkan dalam Basel II, publik
dianggap akan mengetahui secara transparan kondisi dari bank-bank
yang ada di Indonesia.
Belakangan, pihak BI sedikit “melunak” soal penerapan Basel II,
antara lain dengan mengatakan bahwa hal itu akan diterapkan secara
hati-hati dan disesuaikan dengan kemampuan perbankan nasional.
Penerapannya dianggap bisa memiliki beberapa pengecualian,
khususnya untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia. Hal
Arsitektur Perbankan Indonesia dan Implementasi Bassel II 187
yang paling dipertimbangkan adalah risiko kredit, karena risiko
kredit negara yang sedang membangun jauh lebih kompleks ketimbang
negara maju. Bahkan, negara seperti Amerika pun diberitakan
masih mencoba memilah dan memilih secara bertahap, bahkan ada
kemungkinan untuk tidak menerapkannya. Menurut Burhanudin
Abdullah (pada awal Juli 2007), Basel II di Amerika hanya diterapkan
full pada beberapa bank, terutama yang sudah sangat internasional.
Hanya saja, banyak kalangan yang meragukan dan menilai kekurangsiapan
perbankan Indonesia untuk menerapkan Basel II, termasuk
dalam versi tahapan yang direncanakan oleh BI. Sebagai contoh,
Ikatan Auditor Perbankan Indonesia (IAPI) pada bulan April 2008
mengatakan bahwa Perbankan di Indonesia belum siap untuk mengaplikasikan
penerapan Basel II atau aturan baru dalam standarisasi
operasional Bank secara Internasional. IAPI menilai secara umum
bank di Indonesia belum siap dalam melakukan tata kelola terhadap
resiko operasional (operational risk), sehingga tidak menutup
kemungkinan akibat resiko operasional beberapa bank akan
bangkrut. Diungkapkan lebih lanjut, selama ini potensi kerugian
bank dari resiko operasional sangat besar, yang salah satunya adalah
penerapan dalam teknologi informasi. Risko terkait teknologi
informasi ini menyangkut antara lain keamanan data dan masalah
kehandalannya melayani nasabah.
Kalangan perbankan sendiri cukup khawatir, penerapan Basel II
akan menggerus rasio kecukupan modal perbankan (CAR) bank
secara signifikan. Perhitungan risiko pasar dan risiko operasional
memaksa perbankan memiliki modal yang lebih besar agar CAR bisa
dipertahankan. Kebutuhan ekuitas bank yang menjadi semakin
besar, bisa membuat bank tidak dapat melaksanakan fungsi intermediasi
dengan baik. Pada kondisi sebelum penerapan Basel II saja,
188 BANK BERSUBSIDI BEBANI RAKYAT
pihak perbankan belum optimal menjalankan fungsi itu, apalagi
nantinya. Wajar jika pada awal tahun 2007, para bankir sempat
meminta penangguhan dengan alasan utama, kondisi ekonomi
Indonesia baru dalam fase pertumbuhan. Pihak BI sendiri secara
resmi tidak berniat menunda penerapan itu, namun sedikit
melonggarkan aspek teknisnya yang lebih detil.
Wakil Presiden Jusuf Kalla pun sempat mengatakan (Juli 2007)
bahwa penerapan Basel II harus berorientasi pada terwujudnya
kemakmuran bangsa yang berkeadilan. Ditegaskannya bahwa kalau
dengan penerapan itu, kemudian tidak bisa mencairkan kredit bagi
pembelian bibit tebu, padi dan Usaha Mikro Kecil Menengah
(UMKM), lebih baik tinggalkan. Dia menyatankan agar hal ini
dilandasi dengan semangat nasionalisme yang kuat, perbaikan sistem
manajemen yang memadai hingga fungsi perbankan untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi yang kondusif dapat berjalan
optimal. Dengan kata lain, seorang wapres saja masih melihat
kemungkinan penerapan Basel II akan menghambat fungsi
perbankan yang utama di Indonesia.
Sementara itu, industri perbankan saat ini memang tampak lebih
kokoh dan sehat dibandingkan dengan masa menjelang krisis.
Industri perbankan sekarang memiliki permodalan yang relatif kuat,
manajemen risiko yang lebih andal, tata kelola lebih bersih, dan
pengawasan dari bank sentral yang semakin baik. Berbagai kelemahan
pada era menjelang krisis tidak terlihat lagi, seperti: pinjaman
luar negeri tanpa lindung nilai (hedging) yang sangat besar, penyaluran
kredit jangka panjang dengan menggunakan dana jangka
pendek (mismatch), modal yang terlampau kecil dibandingkan
risiko, yang ditanggung, tingginya NPL, pelanggaran BMPK yang
amat sering dan oleh banyak bank, dan lain sebagainya.
Arsitektur Perbankan Indonesia dan Implementasi Bassel II 189
Namun, industri perbankan saat ini belum tampak optimal
berfungsi mendorong pertumbuhan ekonomi. Fungsi intermediasi
perbankan tidak berjalan secara baik. Pertumbuhan kredit tidak
sesuai harapan, dan hampir selalu dibawah target yang ditetapkan.
Kondisinya diperburuk oleh kecenderungan pihak perbankan
untuk menyalurkan kredit pada sektor konsumsi dan debitor lama
yang umumnya hanya membutuhkan modal kerja. Pertumbuhan
kredit pada sektor-sektor pendorong ekonomi sangat rendah, seperti
kredit ke sektor industri pengolahan. Komitmen untuk mendorong
pertumbuhan kredit ke sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
(UMKM) masih terkendala aspek teknis, sehingga lebih banyak
bersifat retorik.
Penerapan Basel II berpotensi menambah parah permasalahan
tersebut. Tatkala yang lebih dibutuhkan adalah upaya keras
perbankan untuk lebih mendorong investasi di sektor riil, yang
ditekankan justeru aspek kehati-hatian (manajemen risiko). Padahal
tadi sudah kita katakan bahwa perbankan saat ini memiliki daya
tahan dan aspek kehati-hatian yang cukup baik. Bukannya kondisi
itu tidak perlu ditingkatkan (antara lain dengan penerapan Basel II),
namun mustinya yang menjadi prioritas adalah optimalisasi fungsi
intermediasi.
Argumen BI dalam hal ini memang berperspektif jangka panjang,
dimana diyakini Basel II pada akhirnya akan memperbaiki fungsi
intermediasi. Nantinya, kemampuan perbankan dalam menilai risiko
akan semakin membaik sehingga menjadi lebih ”berani” dalam
penyaluran kredit. Asumsi semacam ini jelas masih perlu dibuktikan,
mengingat negara-negara lain pun baru memulai penerapan yang
serupa. Sementara itu, masalah jangka pendek dan menengah
perekonomian Indonesia sudah bersifat menekan agar perbankan
190 BANK BERSUBSIDI BEBANI RAKYAT
menjadi motor penggerak yang utama. Kelesuan ekonomi mungkin
akan menghadang di tahun-tahun mendatang, dan pada gilirannya
akan bisa membawa kepada kondisi pengangguran disertai dengan
inflasi yang tinggi (stagflasi). Inflasi karena tidak memadainya
ketersediaan barang, yang tidak mampu lagi diatasi dengan kebijakan
moneter ketat.
Sebagian pihak justeru menyarankan agar BI belajar dari kesuksesan
Grameen Bank. Grameen Bank bisa dikatakan tidak
terikat pada cara konvensional bank dalam penyaluran kredit,
termasuk melakukan penilaian atas risikonya. Grameen Bank
bahkan mampu memberikan kredit kepada pengemis di negerinya,
serta menetapkan suku bunga kredit sangat rendah. Tentu saja tidak
berarti seluruh aspek perbankan perlu diperlakukan secara
demikian. Yang ingin diingatkan di sini adalah aspek kehati-hatian
perbankan, yang dipastikan akan lebih ketat dengan Basel II, jangan
sampai membuat bank semakin tidak terjangkau oleh rakyat miskin
dan pengusaha kecil.
Masalah lain yang bisa mengurangi arti positif penerapan Basel II
(dan perwujudan API) adalah soal kuantitas dan kualitas SDM yang
dimiliki oleh BI untuk pengawasan. Salah satu indikasinya adalah
kasus pembobolan bank yang masih sering terjadi, meskipun
kesalahan tidak bisa ditimpakan sepenuhnya kepada BI. Mustinya,
dengan pengawasan yang lebih baik dari BI, risiko seperti itu akan
lebih bisa diantisipasi..
Bank Indonesia memang telah berupaya melaksanakan program
sertifikasi untuk para karyawannya yang menjadi pengawas atau
pemeriksa perbankan. Program itu diintensifkan agar kompetensi
para pengawas BI meningkat, termasuk soal penerapan Basel II dan
implementasi pilar ketiga API. Namun, jelas bahwa masalah SDM
dalam hal ini masih terlihat rawan.